Kabar Bahagia 02

Suamiku mengatakan bahwa dia ingin melanjutkan pasca sarjana, meraih gelar masternya. Aku menyetujuinya, tapi aku hanya mengatakan ” tidakĀ  kah kau ingin mendudukkan ibumu di auditorium keramat itu?” “Auditorium dari kampus tertua di negeri ini”. Suamiku hanya terdiam, dia tampak berpikir . ” Maksudmu Universitas Indonesia? ” Tanyanya. “ya” jawabku. suamiku hanya tersenyum, tapi ku tahu senyumnya menandakan ia setuju. Aku sudah mengenal suamiku belasan tahun, jadi kutahu bahasa-bahasa isyarat darinya.

Satu setengah tahun cepat berlalu akhirnya sampai juga dihari istimewa itu, yaa hari wisuda. Dari awal sudah kuwanti-wanti agar dia lulus dengan predikat cumlaude agar nanti saat wisuda memperoleh dua undangan. Untuk ibunya dan untukku. Tetapi kalaupun hanya satu biar ibumu saja yang masuk ke auditorium, aku akan menunggu diluar, tak mengapa.

Ketika mendapat kabar bahwa putranya lulus, dengan predikat cumlaude pula, ibunya bahagia luarbiasa. Andai bisa berteriak, pasti dia akan berteriak karena bahagia. Tetapi dia orang jawa yang terbiasa menanggapi kebahagiaan menurut porsinya, biar tak terdengar jumawa.

Ibunya memerlukan waktu seminggu untuk memilih baju mana yang akan dia pakai di hari wisuda putranya. Semula ingin memakai yang A, tiba-tiba menganggap baju A kurang cocok. Ganti lagi baju yang B dan terus saja berubah. Aku hanya tersenyum mendengar percakapan mereka, suamiku dan ibunya,di telepon

Seminggu sebelum hari istimewa itu, ibunya sudah tiba dirumahku. Dia sibuk mengatur bagaimana caranya agar kami tak terlambat saat wisuda nanti. Karena jarak rumahku dan kampus Universitas Indonesia di Depok cukup jauh bahkan macet pula.

Akhirnya disepakati kami jalan jam lima pagi, setelah sholat subuh langsung tancap gas, tanpa sarapan. Rencananya kami akan berhenti sebentar di cibubur  untuk sarapan soto .
Acaranya jam 9 tapi jam 7 lebih sedikit kami sudah sampai ditujuan. Kami menunggu hampir dua jam.

Acara wisuda itupun dimulai dengan segala prosesinya, laiknya upacara wisuda sarjana kami. Selama acara wisuda ibunya lebih banyak diam. Ku pandang matanya dari sudut mataku, ternyata matanya berkaca-kaca. Pastilah dadanya penuh sesak, penuh sesak akan kebahagiaan. Bila suara hati bisa terdengar, pastilah hati itu akan berkata, ” Ya Allah, terimakasih sudah menguatkan ku, karena tentu tak mudah menjadi ibu sekaligus ayah. Itu semua karenaMu, Tanpa Mu pasti aku tak ada di kursi ini dan putra ku tak ada dalam ruangan ini menggunakan baju kebesaran itu.” Ketika nama putranya dipanggil, dia begitu serius mendengarkannya. Di ujungnya dia tersenyum. Pastilah itu senyum bahagia yang menghapus banyak duka.

Terima kasih perempuan pemberani, tak semua orang bisa seperti mu.

Kategori: Kisah

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: